Kamis, 16 November 2023

Taufiq Wisnu The Scientist

Ini bukan judul lagu hits-nya Coldplay 'The Scientist' yang konser tadi malam di GBK. Bukan. Beberapa waktu lalu saya bertemu 'kembaran' beda ayah ibu yang profesinya adalah Ilmuwan. Kami hanya kembar soal nama. Namanya sama seperti saya, Taufiq Wisnu. Bagaimana kami kenal ceritanya sungguh panjang. Kalau ingin tau bagaimana kami kenal, butuh waktu semalam suntuk untuk menjelaskan, sehingga perlu didukung sesaji 200 gram kopi Flores Red Catura yang disajikan menggunakan V60, satu nampan Nasi Kebuli kambing, dan 3 buah durian Musang King serta 1 buah Semangka merah sebagai pencuci mulut. Biasanya saya bertemu orang yang memiliki kesamaan nama hanya 1 kata, seperti di kantor saat ini dan beberapa kantor di masa lalu ada lebih dari 1 orang yang pakai nama Taufiq. Atau ada beberapa 'Wisnu' teman seangkatan kuliah dan sekolah saya. Kalau satu rangkaian nama 'Taufiq Wisnu', baru beliau y saya tahu. Kami sama-sama bernama Taufiq Wisnu, hanya nama belakang kami yang berbeda, saya Taufiq Wisnu Nugroho, beliau Taufiq Wisnu Priyambodo. Kalau ada lagi, kami mau bikin perkumpulan Taufiq Wisnu sedunia, seperti halnya perkumpulan Asep, Bambang, Agus, atau Udin sedunia. 😀 Ketika beliau bercerita tentang sains, saya senang sekali dan sangat antusias. Serasa salah jurusan saat kuliah dulu. Saya mengobati rasa ingin tahu tentang banyak hal melalui buku-buku. Kini saya seraya membaca buku hidup. Beliau ahli di bidang ilmu Biologi, alumni Universitas Indonesia dan menyelesaikan doktoralnya di negeri Jerman. Sementara saya, S2 aja gak kelar-kelar. 😬 Karena beliau ahli tentang Biologi, saya pun bercerita tentang dunia sembelih halal dan Juleha alias Juru Sembelih Halal dengan pernak perniknya. Anggap saja urusan ini beririsan dengan biologi, karena berhubungan dengan menyembelih makhluk hidup yang namanya hewan. Dan ternyata nyambung. Satu jam ngobrol ternyata masih berasa kurang, karena dalam banyak hal kami memiliki pandangan sama. Yang saya dapat dari obrolan santai ini, sains seharusnya sesuatu yang memiliki manfaat untuk masyarakat umum. Sains bukan eksklusif di kalangan ilmuwan dan perguruan tinggi saja. Di Jerman, sebuah seminar bukan hanya dihadiri oleh akademi, tapi juga masyarakat umum yang bisa mengambil manfaat. Misal sebuah seminar tentang teknologi pertanian juga dihadiri para petani sebagai praktisi. Pun dalam konteks sembelih halal, ilmu-ilmu di perguruan tinggi yg berkaitan, jika diseminarkan sangat perlu dihadiri para praktisi di RPH, mulai Juleha nya hingga para juragan sapi. Sehingga sains ini diterapkan di dalam tata kelola sembelih halal dimanapun berada. Memang bukan perkara mudah. Tapi sangat menantang. InsyaAllah tidak berhenti di sini.

Selasa, 29 Mei 2012

Curug Lawe: Air Terjun Yang Mempesona

Sebagai orang semarang, ingin refreshing dengan nuansa alam ternyata agak sulit. Mau ke pantai yang indah nan cantik, tidak akan ketemu kecuali di Kepulauan Karimunjawa. Pantai Marina dan Pantai Maron belum mengena di hati. Iya sih, saya membandingkan dengan keindahan pantai-pantai di Lombok atau pesisir selatan Gunung Kidul. Beralih ke wisata hutan/gunung, yang terdekat adalah seputar gunung Ungaran. Bandungan sudah cukup terkenal, tapi kurang mengena di hati juga wisata kawasan di Bandungan. Akhirnya sasaran ditujukan ke daerah wisata di sekitar Nglimut Gonoharjo kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Dan cara yang ditempuh adalah soft trekking. Yups, soft trekking. Jadi gak cocok untuk wisata keluarga.

Di kantor, beban kerja yang cukup berat ternyata menghadirkan sedikit rasa depresi diantara kami. Pekerjaan yang gak kelar-kelar, yang menemui jalan buntu, timbul konflik, selalu menjadi warna tersendiri. Nah, agar gak mengarah pada stress yang lebih akut lagi, saya mau ajak teman-teman utnuk soft trekking ke daerah Nglimut Gonoharjo. Untuk meyakinkan teman-teman yang jarang melakukan aktifitas outdor seperti ini agak sulit. Setelah cas cis cus dengan mereka, alhamdulillah disepakati hari H. Yang ikut hanya 5 orang. Tujuan: Ke Air terjun yang saya sendiri pun tidak tau namanya. Di Nglimut yang terkenal adalah pemandian air panasnya. Sementara air terjunnya belum seterkenal pemandian air panas.

Perjalanan dari Semarang cukup singkat, hanya sekitar 1 Jam saja. Kalau dari Semarang bawah, lewat Ngaliyan, yaitu pertigaan Jrakah (IAIN Walisongo) ke arah Selatan, lurus terus sampai melewati BSB dan Mijen. Setelah Mijen ada pertigaan kalau ke kanan ke arah Boja, kita lurus terus saja sampai mentok. Kalau masih bingung juga, masukkan koordinat berikut ini ke GPS anda: S 07" 08.952' E110" 19.828' maka akan sampai di tempat parkir kawasan wisata Nglimut Gonoharjo. Setelah sampai di sana, tanya ke petugas yang ada. Kalau tiket menuju air panas seharga Rp 8.000,00. Tapi karena kita nggak ke air panas, maka kita bayar tiket masuk Bumi Perkemahan seharga Rp 3.000,00 saja!

Dari parkiran ambil ke kanan melewati Bumi perkemahan. Jalan terus, kita melewati vegetasi Hutan pinus. Setelah bumi perkemahan kita melewati kebun kopi yang treknya lumayan menanjak. Tapi tenang saja, ada banyak sekali bebatuan besar untuk istirahat kalau kecapekan..

Setelah bebatuan besar, kita akan melewati jalan setapak yang bawahnya jurang. Harus ekstra hati-hati ketika kita melewati sini. Setelah kurang lebih 30 menit (jalan santai), kita akan menemui 2 pancuran air panas. Di sana sudah terdengar gemericik derasnya aliran sungai. Untuk menuju air terjun, kita melewati jalan di belakang pancuran air panas itu. Jangan mengikuti jalan yang lebih besar karena itu akan menuju ke sungai yang alirannya deras tadi.

Setelah jalan naik turun kira-kira 15 menit dari pancuran air panas tadi, kita akan disuguhi pemandangan air terjun yang tinggi sekali. Saya sebenarnya gak tau nama air terjun itu. Ketika di pancuran air panas tadi saya bertemu dengan petugas Perhutani, ternyata namanya Air Terjun Curug lawe. Mungkin karena tingginya 25 meter. Coba lihat gambar 3, terlihat skala orang dan air terjun

Begitu air terjun terlihat, mas phonk dan mas gung langsung mengeluarkan senjatanya untuk berekspresi membingkai keindahan alam di sekitar Air Terjun Curug Lawe. Asyiknya, air terjun ini masih sepi, belum banyak pengunjung. Sampah juga hampir tidak terlihat berserakan. Masih asri, masih murni. Biar gak bingung, ini koordinat air terjun Curug Lawe: S 07" 09.744' E110" 20.132

Setelah puas mandi dan foto-foto, kami kembali melalui jalur yang berbeda. Kami menuju ke atas yang trek-nya lebih landai. ternyata cukup dekat dengan kampung Medini. Dari sana bisa memilih mau terus lewat kampung yang nantinya tembus di jalan atasnya bumi perkemahan, atau turun ke bawah menuju hutan pinus menerabas perkebunan kopi yang langsung sampai di dekat bumi perkemahan. Tapi jalur ini sangat curam.

Pulangnya kami tak lupa mampir ke degan bakar yang lokasinya di tengah-tengah sawah, Persis sebelum kami memasuki Mijen Kota Semarang. Degan bakar ini ternyata cukup menyegarkan rasa penat kami...
Foto 1 dan 2: Agung Widarta
Foto 3 : tovicsky

Rabu, 23 Maret 2011

Say YES to GAMBARU!


By Rouli Esther Pasaribu

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan.

Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup selalu : motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama) , motto motto kenkyuu ****ekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi). Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja. Menurut kamus bahasa jepang sih, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai ****e doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan)

Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan "mengencangkan". Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.).

Terus terang aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti, kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya. Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan, sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri. Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!). Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah penghabisan it's a must!

Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di jepang bagian timur. Gw tau, bencana alam di indonesia seperti tsunami di aceh, nias dan sekitarnya, gempa bumi di padang, letusan gunung merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia. Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain. Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan. Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan. Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini?

Dari hari pertama bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan di TV. Jadi yang ada apaan dong?

Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :
1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada
2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)
3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana
4. Tips-tips menghadapi bencana alam
5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam
6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang terkena bencana
7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar bernilai banget harganya)
8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati
9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati :
*ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)

*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini; Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang. Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget, negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat baja, karena : falsafah gambaru-nya itu. Bisa dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.

Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang bergoyang... ..I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa maju. Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup. Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata beliau. Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya jepang ini. Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa jepang, ngga akan bisa survive di sini. Sampai sempat nyesal juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris atau sastra barat lainnya. Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di jepang. Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu. Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami semua itu adalah di jepang. Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika gw mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi merasa muak jiwa raga. Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. (Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).

Say YES to GAMBARU

Kamis, 07 Oktober 2010

Becanda dengan Ikan di Perairan Gili Nanggu

Becanda dengan ikan-ikan di laut bahkan sampai mengelusnya seperti mengelus hewan peliharaan kita di rumah seakan-akan sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi sembari menikmati indahnya terumbu karang di perairan Gili Nanggu.

Memanfaatkan cuti lebaran, tanggal 22 September 2010 lalu saya dan keluarga besar berpetualang di 3 gili. Yaitu Gili Nanggu, Gili Tangkong, dan Gili Kedis. Rencana petualangan ini memang disusun secara mendadak. Justru yang mendadak gini yang meriah. Kakak saya segera memberitahukan relasinya di Sekotong, tempat menyebrang ke Gili Nanggu dan seorang temannya yang memang tinggal di Gili Tangkong. Kita diminta untuk membawa beras, kangkung, dan lauk pauk mentah. Sementara ikan sudah disediakan di Sekotong. Rencananya kita akan makan bersama di Gili Tangkong.

Perjalanan menggunakan 2 mobil, Kijang LGX milik teman saya dan Daihatsu Taruna milik kakak ipar. Selain 3 keluarga, juga anak-anak tetangga kami ajak ikut serta. Kebetulan hari itu mereka pulang cepat karena gurunya mau halal bi halal se-kota Mataram. Jadi semuanya sekitar 15 orang, sudah termasuk anak-anak. Perjalanan dari kota Mataram kira-kira 1,5 jam dengan kecepatan sedang. Saat mau menyebrang, kami menggunakan 2 boat kecil. Tujuan pertama adalah Gili Nanggu.

Gili Nanggu memiliki pasir putih yang lembut seperti tepung. Saat kami tiba, banyak turis mancanegara yang sedang berenang di sana. Tak menunggu waktu lama, setelah menyewa masker dan snorkel, saya langsung menghambur ke pantai dan 'pemanasan' dengan berenang di pinggir-pinggir pantai saja. Meski begitu, puluhan ikan dengan berbagai jenis seakan-akan menyambut kedatangan saya. Indah sekali. Karena di perairan itu tak boleh menangkap ikan, maka ekosistemnya terjaga. Anak-anak yang ikut berenang dengan ban dan pelampung terlihat senang sekali. Orang dewasa yang belum bisa berenang pun saya yakin bisa menikmati, asal menggunakan jaket pelampung.

Saya menghampiri berugaq (saung) tempat menaruh tas dll. Saya ambil botol minuman, lalu diisi dengan roti di dalamnya. Botol yang terisi roti itu saya bawa snorkeling, berenang di permukaan laut. Sambil menikmati indahnya terumbu karang, botol saya buka pelan-pelan. Sebagian isi roti tersembul keluar, dan serta merta ikan-ikan mendekati saya, berusaha memperebutkan roti-roti tadi. Luar biasa. Jumlahnya ada puluhan, dan semuanya mendekati saya. Layaknya binatang peliharaan, saya berusaha mengelus ikan-ikan itu. Saya menyelam, saya mengejar ikan-ikan... sungguh mengasyikkan!

Saya semakin jauh berenang meninggalkan pantai. Ternyata justru semakin dangkal. Batu dan terumbu karang menghampar lebih indah. Di kedalaman kira-kira 5 meter, saya melihat bintang laut berwarna biru. Saya menahan nafas lalu menyelam meraihnya. tangan saya terluka kena batu karang. Saya hanya ingin memperlihatkannya kepada anak saya. "Ini ada patrick berwarna biru!" saya berseru kepada anak saya, Salmaa, yang penggemar film Spongbob Squarepants. Setelah dilihat Salmaa, saya minta bintang laut itu 'dibuang' lagi ke laut, agar tidak mati.

Di Gili Nanggu ini memang terdapat penginapan. Saya tidak tahu berapa tarif menginap per malamnya. Di sana juga terdapat kolam penampungan penyu. Masing-masing kolam terbagi yang dihuni penyu berdasarkan umurnya. Sebagian masih kecil, sepertinya baru menetas dari telurnya, jumlahnya puluhan ekor. Setelah siap, penyu-penyu itu akan dilepaskan ke laut.

Awan hitam pekat terlihat di langit sebelah utara. Kapal ferry yang menyebrang dari Lomkok ke Bali terlihat samar-samar menerjang laut di tengah hujan. Di gili nanggu mulai sedikit gerimis. Kami pun berhenti berenang dan melanjutkan perjalanan ke Gili Tangkong tepat tengah hari.

Salah satu boat yang mengangkut kami tadi ternyata membawa bahan mentah ke Gili Tangkong untuk dimasak di sana. Dengan melewati Gili Sudak, sampailah kami di Gili Tangkong. Hanya ada satu keluarga yang menghuni Gili Tangkong, itu pun hanya suami istri. Mereka belum memiliki anak. Keluarga itu mencukupi hidupnya dengan mengambil hasil tanaman di gili tangkong. Membuat minyak kelapa dengan kelapa yang mereka petik, makan ikan hasil tangkapan, dan buah-buahan yang ada di sana. Serta dapat tips dari tamu yang berkunjung ke sana. Terlihat ikan yang dibawa tadi dibakar dengan serabut kelapa. Dan dari arah dapur nampak kepulan masak nasi dan rebusan kangkung yang akan dibuat plecing. Sambil menunggu masakan matang, kami melakukan sholat dzuhur dan asar yang dijamak. Anak-anak berkejar-kejaran di pantai, sebagian berenang.

Masakan sudah siap. Plecing kangkung pedas, ikan bakar, dan ikan bumbu kuning! Benar-benar mengundang selera makan yang luar biasa. Anak-anak makannya lahap sekali. Salmaa (4 th) habis 2 piring, Miqdad (3 th) habis 3 piring, yang lainnya 1 piring saja dengan volume besar! Kalau mengingat hal ini, rasanya ingin mengulangi momen itu. Hujan gerimis tak menghalangi kebersamaan kami. Sungguh nikmat!

Kami melanjutkan petualangan berikutnya, yaitu ke Gili Kedis. Pulau ini besarnya kurang dari separo lapangan sepak bola. Kecil sekali, tapi memiliki pasir putih yang indah. Saya tak mau berlama-lama di boat. Sesampainya di sana, saya langsung mengambil peralatan snorkeling dan berkeliling mengitarinya. Terumbu karangnya sungguh indah! Bahkan saya menemukan rumput laut yang langsung bisa dimakan! Rasanya? Jangan tanya karena saat itu memang lagi lapar...hehehehe... Anak-anak bermain kaliomang (keong), kerang-kerang yang lepas dari cangkangnya, dan pecahan batu-batu karang yang unik di sepanjang pantai.

Waktu tak terasa mendekati senja, kami pun harus kembali ke Sekotong, tempat penyebrangan tadi. Sayangnya toilet di sana kotor sekali. Para ibu-ibu pun kebingungan mau ganti baju. Setelah masing-masing bersih-bersih diri mengguyur dengan sumur sekedarnya, kami pun melanjutkan perjalanan pulang.

Tertarik dengan petualanagn kami? Sediakan dana 3 juta untuk paket ini dan hubungi guide kami, Abah Mura di 081803615487 (paket untuk 15 orang, termasuk sewa 2 mobil, 2 boat, dan snorkel serta makanan)

Peserta petualangan:
Dewasa: Abah Cia, Mak Ang, Iryadi, Butet, Ita, Oppie, Taufiq, Agus, Leles.
Anak-Anak: Imam (7 th), Kholiq (3 th), Ziyad (7 bulan), Yuda (9 th), Miqdad (3 th), Salmaa (4 th), Syafiq (3 th), Heri (10 th), Anang (9 th).

Kamis, 08 Juli 2010

Sikap Demokratis Dan Ketegasan Abu Bakar As-Shiddiq


Pengurusan jenazah Rasulullah SAW belum juga selesai. Abu Bakar masih sibuk mengurusi jenazah manusia yang paling mulia itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang utusan Umar bin Khattab. Umar bin Khattab begitu resah dengan kepemimpinan ummat Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Meskipun hanya sebentar, kekosongan kepemimpinan sangat berbahaya. Harus segera dipilih seorang pemimpin kaum Muslimin agar perpecahan tidak semakin meluas. Sehingga ekspansi dakwah yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah sebelumnya dapat terlaksana.

Tapi Abu Bakar menolak utusan itu. Ia lebih memilih untuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW. Tidak mau utusannya datang dengan tangan hampa, Umar bin Khattab sekali lagi meminta Abu Bakar menengahi keresahan kaum Anshor yang telah berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Orang-orang Anshor bermaksud mengangkat seorang pemimpin diantara mereka dan mempersilakan kaum Muhajirin mengangkat seorang pemimpin pula. Kondisi ini disadari sangat berbahaya. Abu Bakar mendatangi mereka dan dengan kata-kata yang lembut ia menenangkan kaum Anshor yang ingin mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin mereka. Hubab bin Munzir terus menerus membakar semangat kaum Anshor untuk mendukung dualisme kepemimpinan. Kondisi semakin memanas tatkala Umar bin Khattab bersikeras harus ada satu pemimpin saja. Tidak mungkin ada dua kemudi dalam satu perahu. Hubab bin Munzir semakin panas dan mengancam akan memulai peperangan atau kaum Muhajirin harus hengkang dari Madinah.

Kondisi yang semakin panas ini akhirnya ditengahi oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. “Saudara-saudara Anshar, Kalian adalah orang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang menjadi orang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan!”. Kata-kata itu mampu meredakan mereka. Akhirnya seorang pemimpin Khazraj bergabung dengan Muhajirin. Hal ini membuat kaum Anshor tidak lagi seia sekata.

Abu Bakar memperkirakan kondisi sudah reda dan saatnya mengambil sebuah keputusan. Seraya mengingatkan agar jangan ada perpecahan, ia mengangkat tangan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah seraya berkata, “ Ini Umar dan ini Abu Ubaidah. Berikan ikrar kepada yang mana saja yang kalian sukai.” Abu Bakar melakukan sikap demokratis di tengah ketegangan antara Anshor dan Muhajirin. Apakah sikap Abu Bakar ini dipersalahkan? Tak satu pun yang membantah saat itu. Memilih satu diantara dua sahabat terbaik Rasulullah SAW akan dilakukan, tapi Umar bin Khattab segera menyergahnya. Ia meminta Abu Bakar membentangkan tangan seraya mengatakan bahwa karena Rasulullah memilih Abu Bakar untuk memimpin sholat, dialah orang yang paling disukai Rasul SAW. Kemudian Abu Ubaidah memberikan ikrar karena Abu Bakar adalah orang yang menemani Rasul SAW saat Hijrah. Setelah itu berturut-turut semua orang yang ada di Saqifah secara aklamasi membai’at Abu bakar sebagai pemimpin, kecuali Sa’ad bin Ubadah.

Islam bukan tidak mengenal demokrasi. Islam bukan tidak mengenal pemungutan suara. Tetapi kesatuan ummat adalah yang utama. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa terjadi, tetapi perpecahan harus dihindarkan. Sikap Abu Bakar yang menginginkan pemungutan suara untuk memilih pemimpin antara Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah adalah bukti, meskipun justru secara aklamasi memlih Abu Bakar sendiri sebagai pemimpin karena memang ia dianggap sahabat yang paling disukai oleh Rasulullah SAW, manusia yang paling mereka cintai. Bahkan sebenarnya Abu Bakar tidak menginginkan dirinya sebagai khalifah. Tapi menyadari permasalahan kepemimpinan sangat dibutuhkan, akhirnya ia bersedia membentangkan tangan untuk dibaiat oleh Umar bin Khattab.

Sikap demokratis Abu Bakar bukan berarti sikap ketidaktegasan seorang pemimpin.

Sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau telah mempersiapkan ekspedisi ke Syam untuk menghadapi pasukan Romawi yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Penunjukan Usamah bin Zaid ini sebenarnya tidak disukai oleh beberapa kaum Anshor karena Usamah bin Zaid masih sangat muda. Ketidaksukaan ini masih terbawa ketika Abu Bakar sebagai khalifah akan meneruskan ekspedisi itu. Umar bin Khattab membawa pesan kaum Anshor kepada Amirul Mukminin. Tetapi jawaban Khalifah, “Sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil Rasulullah SAW!”. Dan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid pun berangkat, yang didalamnya terdapat sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor.

Abu Bakar bertindak sangat keras terhadap para pengemplang zakat. Ketika akan memeranginya, Umar bin Khattab protes dengan alasan bahwa barangsiapa yang telah mengucapkan syahadatain, maka darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alas an yang dikembalikan kepada Allah. Abu Bakar membantahnya bahwa urusan Sholat tidak bisa dipisahkan dengan urusan zakat. Dan orang yang memisahkan keduanya wajib diperangi. Akhirnya Abu Bakar berhasil menghadapi para penolak zakat, dan Umar pun mengakuinya.

Hebatnya, persahabatan keduanya tidak pernah luntur meski dengan perbedaan pandangan mengenai sesuatu hal.
Menurut Imam Hasan Al Banna, Khilaf dalam masalah fiqih furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat tentu mengandung pelajaran yang sangat berharga terhadap masing-masing pendapat.

Wallahu a’lam bisshawwab…
Johar, 7 Juli 2010

Rabu, 02 Juni 2010

Ekspedisi Gunung Tanpa Nama


Tlogodingo memang kampung yang menawan di kaki Gunung Lawu. Terletak persis sebelum Cemoro Sewu, basecamp naik ke Gunung Lawu. Masyarakatnya hidup dari pertanian dan menggembala ternak. Kampung paling ujung Timur provinsi jawa Tengah ini hampir setiap hari diselimuti kabut. Dingin luar biasa. Masyarakatnya bercocok tanam strawberry, terong, wortel, kol, bahkan ada satu petak tanah yang ditanami bunga edelweis! Keramahan orang-orang di sana menambah kesejukan bagi siapa pun yang berkunjung. Ditambah hidangan buah strawberry segar yang baru dipetik. Menambah suasana semakin adem ayem...

Di sebelah selatan kampung Tlogodingo terdapat bukit yang menjulang, tingginya kurang lebih 2100 mdpl. Vegetasi bukit dan kontur tanah cukup beragam. Ada hutan basah, semak belukar, ilalang, dan hutan buatan di sisi baratnya. Tak heran hutan di sekitar gunung tanpa nama ini sering digunakan para pecinta alam untuk melaksanakan Diksar. Yang paling sering adalah sebuah tempat di timur kaki gunung yang dinamakan Mrutu. Karena di tempat ini banyak sekali mrutu yang siap membuat gatal orang yang nge-camp di tempat itu. Mrutu adalah semacam serangga kecil yang beterbangan dan suka hinggap di kulit manusia.

Kami ber-13 berniat melakukan softrack ke gunung itu. Dimulai dengan melakukan perjalanan dari arah barat gunung tanpa nama. melewati ladang wortel, kol, dan strawberry serta beberapa sungai kecil yang mengalir dari arah gunung. Terkadang melewati jalan-jalan yang cukup terjal. Lalu melewati hutan pinus dan tanaman paku-pakuan yang lebat mengelilinginya. Kira-kira 2 jam perjalanan tidak menemukan jalan yang sangat terjal dan semua jalan cukup lebar. Setelah istirahat sebentar di sebuah pos untuk melaksanakan sholat dzuhur dan asar, kami melanjutkan perjalanan. Setelah pos itu track mulai menanjak. Vegetasi masih berupa pohon-pohon yang tidak begitu lebat, sampai kira-kira satu jam perjalanan kami mulai menemukan jenis-jenis pohon yang hanya ada di puncak-puncak gunung. Gunung-gunung kecil di sekitar Gunung Lawu tampak sangat jelas. Kabut-kabut yang berbaris tertiup angin menambah indahnya pemandangan. Sejenak kami berhenti di sana. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

Semak-semak ilalang menemani perjalanan kami di kanan kiri. Pohon-pohon besar sudah mulai jarang. Semak-semak yang cukup lebat sampai setinggi di atas kepala menyebabkan jalan setapak tak begitu jelas terlihat. Perlu hati-hati karena kanan kiri adalah jurang. Akhirnya, kami sampai juga di puncak gunung tanpa nama. Karena hari menjelang sore, kami memutuskan untuk nge-camp di sana sekalian. Sebenarnya agak kurang yakin nge-camp di sana, tapi karena komandan meminta ngecamp, ya kami harus menurut.

Kami lalu melepas ransel dan mempersiapkan diri mendirikan tenda. Hujan rintik-rintik karena kabut yang melewati puncak gunung mulai terasa. Tiba-tiba, "bresss......" Hujan cukup lebat membasahi kami yang sedang mendirikan tenda. Tenda belum berdiri sempurna. Padahal seluruh isi tas sudah kami keluarkan. Meski kami berusaha menyelamatkan barang bawaan kami agar tak nea hujan, semua tetap basah kuyup, termasuk sleeping bag sebagai benteng terakhir agar kami bisa tidur nyenyak. Hujan mulai rintik-rintik, kami memperbaiki tenda yang belum berdiri dengan sempurna.

Setelah hujan reda, kami pun keluar dari tenda. Menikmati siluet jingga di ufuk barat senja itu, mencari-cari sang mentari seakan ingin mengucap selamat jalan. Tapi hanya bayangan jingga yang terlihat karena tertutup awan dan kabut. Ingin mengambil fotonya, tapi dingin dan basah membuat saya enggan melakukannya. Setelah sholat maghrib dan Isya, kami menyaksikan pemandangan malam di bawah sana yang tampak indah. Mulai gemerlap kota Solo dan Karanganyar yang nampak dari kejauhan, serta di sisi timur nampak gemerlap kabupaten magetan Jawa Timur. pemandangan itu silih berganti hilang karena kabut yang kadang melintasi sekitar gunung.

Setelah itu kami istirahat dengan berbasah-basahan. Mencoba menghangatkan dengan membuat perapian pun gagal. Karena hampir tidak ada sesuatu yang bisa dibakar kecuali sampah plastik kami. itu pun hanya bertahan sebentar. Kami langsung masuk ke tenda untuk istirahat. Teman-teman banyak yang tidak bisa istirahat karena basah. Alhamdulillah saya bisa tidur. Celana yang basah saya lepas dan langsung masuk ke sleeping bag yang ternyata hanya separo bagiannya basah kena hujan tadi. Lumayan lah ada bagian yang kering. Diiringi gemeretak suara gigi teman-teman yang kedinginan serta suara ngorok mereka, ditambah suara nafas salah seorang teman yang tidak tahan Oksigen tipis, melengkapi istirahat malam itu. Saya memainkan pikiran bahwa mereka baik-baik saja, meski tadi ada yang kram. Sehingga saya pun bisa tidur dengan nyaman (meski tidak nyenyak).

Tengah malam kami melanjutkan perjalanan turun. Setelah melewati semak-semak ilalang dengan jalan yang sempit, kami melewati track menurun yang sangat terjal dan licin. Tak jarang kami harus merambat pelan saat menuruni tarck itu, kalau tidak ingin terperosok ke jurang.

Saat sedang menuruni jalan yang terjal itu, tiba-tiba terdengar suara "kreeeekkkk...!".. Sebuah batang pohon patah. Batang pohon itu berguling di jalan yang terjal, lalu mengenai 4 orang teman kami. Salah satu dari teman sampai pingsan. Seorang dokter dalam tim langsung melakukan P3K. Dia mengalami patah di tulang punggung di belakang leher. Pohon itu patah padahal tak ada angin yang berhembus kencang.

Sebuah cobaan yang berat bagi kami. Mungkin itu peringatan Allah. Dengan menggunakan sarung dan tongkat yang dijadikan dragbar, kami melakukan evakuasi yang cukup sulit. Medan yang terjal, licin, berair, dan sempit harus kami lalui. Alhamdulillah kami sampai di Mrutu keesokan harinya. Perjalanan dari puncak sampai ke bawah tadi normalnya dilakukan selama 2-3 jam. Tapi karena harus melakukan evakuasi, kami melakukannya sampai kira-kira 6 jam baru sampai di pos mrutu. Ambulance sudah disiapkan di Tlogodingo untuk membawa teman kami ke Rumah Sakit di Solo.

Meski dibalut dengan perasaan sedih, kami mengakhiri ekspedisi di gunung tanpa nama dengan mengambil hikmah atas semua peristiwa.

Hidangan strawberry segar pun tak kuasa kami tolak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga.

Tlogodingo, 29-30 Mei 2010

Selasa, 11 Mei 2010

Give her for 'me time'


"Berangkat aja cy.." kataku menepis keraguannya.

Istriku ingin sekali pulang kampung, karena ada temannya yang menikah. Sebenarnya bukan semata-mata ingin menghadiri pernikahan temannya. Tapi bertemu dengan keluarga besar adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Kakak-kakak, keponakan, dan tentunya bapak dan ibu. Dari 8 bersaudara, semuanya ngumpul di Lombok, kecuali istriku yang tinggal di Semarang bersamaku.

"Itung-itung itu untuk me time cy..." sekali lagi aku menguatkannya.
"Terus anak-anak gimana?" tanyanya kepadaku.
"Biarlah anak-anak InsyaAllah aman sama Abi" tambahku meyakinkannya.
Sebenarnya aku juga punya keinginan kuat untuk liburan ke Lombok. Tapi situasi kantor yang tidak memungkinkan untuk cuti sehingga mengurungkan niat kami untuk pulang ke Lombok awal Mei ini.

Bagi sebagian orang, 'me time' identik dengan perawatan diri, creambath, mandi sauna, dll. Tapi saya kasih waktu untuk istri bertemu dengan teman-teman sekolahnya dulu. Harapan saya untuk menyegarkan diantara suntuknya pekerjaan rutin yang tiada habisnya. Saya masih meyakini liburan itu penting. Untuk siapa saja. Dan ini giliran istri saya.

Selama ditinggal 2 hari ke Lombok, memang agak berat mengatur anak-anak. Karena selama ini anak-anak tergantung sama umminya. Tapi bukan berarti saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Justru saya ingin mengambil kesempatan ini untuk lebih dekat dengan anak-anak, terutama Syafiq. Karena dia lebih dekat sama umminya, dan segala sesuatu harus dilakukan sama umminya.

Yang paling berat adalah ketika Syafiq bangun tidur. Dia pasti menanyakan keberadaan umminya. Memandikan, menyuapi, nyiapin perlengkapan sekolah Salmaa, bukan lah pekerjaan sulit bagi saya.

Jauh di seberang sana umminya ngasih kabar kalau sedang menikmati 'kuliner' masakan ibu mertua saya. Lalu berkumpul sama temen-teman sekolahnya dulu, bersendau gurau layaknya masih bujangan. Saya memang mendorong kondisi seperti ini. Saya memberikan waktu untuk memanjakan otak sejenak. Dan saya pun ingin melatih kesabaran dengan meng-handle penuh tingkah polah anak-anak.

"Cy, ummi dipanggil diklat.." kata istriku. "...yowis cy, berangkat aja.." kataku kepadanya sambil tetap tersenyum, meski berat rasanya ditinggal seminggu. Karena aku tidak ingin menambah beban pikiran istriku yang sudah berat meninggalkan anak-anak untuk diklat di Jakarta selama seminggu.

Semoga Allah swt mempermudah urusan kita semua...